Jumat, 15 Januari 2010

Perlindungan Konsumen dan Pemberdayaan Perempuan



Perlindungan Konsumen dan Pemberdayaan Perempuan
BERBAGAI hak, seperti hak atas ketersediaan bahan makanan dan minuman secara cukup, hak atas kesehatan, hak atas keselamatan, hak atas keamanan produk, hak atas perlindungan ekonomi, hak atas ganti rugi, dan lain-lain hak konsumen, merupakan hak-hak yang terpaut dengan hak asasi manusia (HAM).
DI mana pun dan dalam keadaan apa pun, hak-hak konsumen sebagai bagian tak terpisahkan dari HAM harus tetap dihormati dan dijunjung tinggi. Bila dikaitkan dengan kenyataan, mayoritas kelompok masyarakat yang banyak terkait dengan persoalan konsumen adalah kaum perempuan. Merekalah yang paling berurusan dengan produsen, agen, dan penjual.
Perlindungan konsumen merupakan kegiatan manusia yang fundamental, yakni menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Bila pemenuhan kebutuhan pangan dan sandang manusia menjadi kebutuhan penting, maka tepatlah jika dikatakan bahwa perlindungan konsumen adalah bagian dari HAM. Pengabaian perlindungan konsumen dengan sendirinya juga bermakna pelanggaran terhadap hak perempuan.
Hak-hak di bidang konsumsi berhubungan dengan Pasal 25 Deklarasi Universal HAM dan Pasal 11 Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Kedua pasal ini pada dasarnya berisi norma tentang hak atas standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan pada diri setiap orang beserta keluarganya, termasuk hak-hak yang berkenaan dengan makanan, pakaian, dan rumah yang memadai.
Kasus pemusnahan sapi berpenyakit sapi gila di Inggris dan pemberantasan ayam berpenyakit flu burung di Hongkong yang sempat menghebohkan dunia beberapa waktu lalu, mendapat sorotan dan tekanan dari masyarakat internasional yang peduli agar konsumen berbagai negara tidak mengonsumsi daging yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
KASUS-kasus di atas menunjukkan bahwa perlindungan hak konsumen atas kesehatan, keselamatan, dan keamanan bahan makanan tetap menjadi perhatian masyarakat internasional dan tetap dipandang sebagai bagian upaya perlindungan HAM. Tulang punggung upaya menegakkan hal ini sebagian besar berada di tangan perempuan. Bagaimana dan sejauh mana implementasi hal ini, tentu saja memerlukan kajian lebih lanjut oleh pemerintah, lembaga swadaya masyarakat di bidang jender, serta pusat-pusat studi wanita yang ada di berbagai perguruan tinggi.
Kasus tewasnya 28 orang di Indonesia pada bulan Oktober 1989 karena mengonsumsi biskuit yang mengandung bahan kimia atau sodium nitrit (Aminuddin Kasim, 1995), kasus Supermie yang menewaskan beberapa orang di Sumatera, kasus bakso mengandung boraks, kasus Dancow, kasus Ajinomoto,dan lain-lain, semua ini merupakan pelajaran mengenai pelanggaran hak konsumen dan sekaligus merupakan bagian dari pelanggaran hak kemanusiaan. Dalam kaitan ini, aktivitas ekonomi warga masyarakat tidak lagi memadai hanya disandarkan pada pertimbangan etika bisnis, akan tetapi perlu disentuh penegakan norma hukum yang intensif dan masif serta tidak bias jender.
Kerugian jiwa dan atau materi yang dialami konsumen dalam aktivitas perdagangan bukan saja dapat digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum, akan tetapi juga bertentangan dengan nilai moral agama dan moral kemanusiaan. Bagaimanapun, hak atas kecukupan bahan makanan dan hak atas kesehatan bahan makanan adalah hak-hak konsumen yang behubungan dengan ukuran kelayakan hidup seseorang.
Selain hak atas kesehatan produk, hak memilih, konsumen juga memiliki hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikan kepada penjual. Hak konsumen ini antara lain ditentukan oleh kesadaran pedagang atau penjual dalam menggunakan satuan alat takaran dan timbangan secara legal untuk jenis bahan makanan tertentu, serta kesungguhan pemerintah untuk mengefektifkan pengawasan fungsional terhadap penggunaan alat-alat tersebut.
Dengan demikian, hak atas kecukupan bahan makanan (hak atas nutrisi yang cukup) adalah bagian dari hak kesejahteraan paling mendasar. Tanpa itu, kepentingan atas kehidupan, kesehatan, dan kebebasan berada dalam bahaya dan penderitaan dahsyat, terjadinya berbagai perbuatan melanggar hukum serta tindak kekerasan terhadap perempuan, bahkan kematian dapat tak terelakkan.
Berdasarkan logika berpikir di atas, pemerintah wajib mengatur hubungan hukum antara konsumen dengan pihak produsen serta pedagang dan penjual dalam menciptakan ketertiban hubungan manusia. .
Pemerintah juga berkewajiban mengatur penyediaan dan distribusi bahan-bahan makanan dan minuman sampai ke pasar, termasuk mengawasi segi kesehatan dari bahan-bahan makanan dan minuman pada saat proses produksi dan atau fabrikasi berlangsung.
Kehadiran Undang-Undang ( Perlindungan Konsumen (UU Nomor 8 Tahun 1999) dapat dikatakan sebagai salah satu pranata hukum ekonomi yang melengkapi instrumen perlindungan hak asasi manusia.
Dalam Pasal 4 undang-undang itu ditetapkan hak-hak konsumen, seperti, a) hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa; b) hak memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c) hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan jasa; d) hak didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan; e) hak mendapatkan advokasi mengenai perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f) hak mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g) hak diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h) hak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i) hak-hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
PERTANYAANNYA, sudahkah masyarakat secara umum dan perempuan khususnya memahami hak-hak tersebut? Sejauh mana perempuan diberdayakan dalam menegakkan hak-hak itu?
Eksistensi manusia, baik sebagai individu maupun makhluk sosial, kurang mempunyai arti manakala hak asasinya hanya sebatas pada pengekspresian hak-hak dalam bidang politik dan keamanan. Manusia butuh makan dan minum, perlu sehat, berhak menikmati kesejahteraan, dan hak-hak lain dalam bidang ekonomi.
Semua hak asasi manusia dalam bidang ekonomi ini ikut menentukan dalam mewujudkan keutuhan manusia secara umum dan perempuan secara khusus sebagai makhluk yang memiliki harkat dan martabat. Di mana pun dan dalam keadaan apa pun, hak-hak konsumen guna pemberdayaan perempuan sebagai bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia harus tetap dihormati dan dijunjung tinggi.











Pemberitaan Sensitif Gender, Sumbangan Besar Mewujudkan Demokrasi

Revolusi teknologi ternyata tak banyak dimanfaatkan oleh pekerja media untuk membantu perempuan memperbaiki posisinya. Pencitraan perempuan di berbagai media massa di seluruh dunia masih lebih banyak bersifat stereotip sehingga tidak bisa dikatakan mewakili sesuatu yang lebih benar mengenai perempuan. Sampai Konferensi Dunia IV mengenai perempuan dan pembangunan di Beijing (1995), media dan jaringan alternatif khusus untuk perempuan semakin berkembang dan dimanfaatkan secara efektif oleh organisasi mahasiswa dan kelompok-kelompok perempuan guna memperbaiki kesadaran sosial dan politik di antara perempuan dan anggota masyarakat Dengan demikian, media seharusnya dapat digunakan untuk mentransformasi pencitraan mengenai perempuan.

Perjuangan Perombakan Kultur
Upaya menghapuskan kekerasan dalam pemberitaan surat kabar, bukan hal yang mudah karena menyangkut perombakan kultur dan kerangka pikir wartawan dan editor. Apalagi bila bekerja pada wilayah mind set yang melahirkan suatu sikap tertentu, ideologi tertentu yang dipelajari seorang manusia sejak ia bisa berpikir, ditambah oleh pola asuh yang bias gender. Dengan demikian pemberitaan wacana sensitifitas gender saja tidak akan mampu membuat wartawan segera mamiliki kesadaran yang cukup pada inequality yang dialami perempuan. Kerja dalam tim seperti media cetak, membutuhkan toleransi dan penghargaan pada proses. Kemarahan dan ketidaktoleran hanya akan menjadi conter productive dan tidak akan membuat perubahan yang berarti.
Perjuangan untuk mencapai keadilan gender melalui pemberitaan dalam media massa masih membutuhkan waktu teramat panjang. Kekerasan terhadap perempuan dalam media massa tidak bisa dilepaskan dari posisi perempuan dalam masyarakat, karena struktur dan pemberitaan media massa sebenarnya adalah cermin situasi masyarakat itu sendiri. Dalam masyarakat terlanjur meyakini notion palsu yang mengatakan bahwa secara kodrati perempuan kurang pandai dan secara fisik lebih lemah dibandingkan dengan laki-laki. Karena itu, sebagai besar masyarakat masih percaya pada pembagian kerja secara seksual yang mensubordinasikan perempuan, sektor "domestik" yang dikatakan sebagai sektor statis clan consumtif sebagai milik perempuan. Sedangkan sektor "publik" yang dicirikan sebagai sektor dinamis dan memiliki sumber kekuasaan pada perbagai sektor kehidupan yang mengendalikan perubahan sosial sebagai milik laki-laki.
Sejumlah stereotip lantas menempel pada perempuan dan laki-laki berdasarkan peran jenis kelamin itu. Ini diperkuat oleh kekuasaan negara UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang secara eksplisit menetapkan peran-laki-laki dan perempuan, maka dengan mudah ideologi yang diskriminatif ini tersosialisasikan, terinternalisasikan melalui pendidikan di semua lini, keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Wartawan dan struktur keredaksian juga menyerap nilai-nilai tersebut sehingga mudah tergelincir untuk melakukan kekerasan berganda terhadap perempuan korban kekerasan melalui bahasa dan konsep yang dipakai, atau sudut pandang berita yang dipilih, pemilihan gagasan dan keseluruhan gaya pemberitaan.

Perspektif Perempuan dalam Media Massa
Seluruh persoalan ini di dalam media massa juga tidak terlepas dari struktur modal yang kapitalistik. Industri media massa akan menempatkan berita-berita yang bersifat maskulin itu sebagai sesuatu yang utama, karena dianggap "menjual". Ciri kapitalistik juga nampak dari dikalahkannya pemuatan berita demi iklan, meski iklan dijadikan alasan utama suatu media massa dapat bertahan.
Penulisan berita dan artikel atau tulisan apapun (juga gambar) yang berperspektif perempuan bukan tidak mengandung kontradiksi. Bahkan mengandung resiko dituduh mengekalkan mitos masochisme perempuan, rasisme, narcisis, memalukan, buruk, efensif, dan menentang konsepsi tentang apa dan bagaimana seharusnya.
Suara perempuan adalah suara yang terbisukan. Sistem politik yang represif telah mengawasi perempuan secara ketat, mengontrol secara dominan, tidak memungkinkan cara berpikir lain daripada yang dikehendaki penguasa, menyudutkan dan menyempitkan dan akhirnya menundukkan. Ini juga dilakukan melalui bahasa, karena membicarakan media massa media yang diekspresikan melalui bahasa tulis dan lisan. Sebagai wacana baru (newspeak), bahasa bukanlah sekedar alat komunikasi. Ia merupakan kegiatan kegiatan sosial yang terstruktur dan terikat pada keadaan sosial tertentu.
Posisi Media Massa
Namun perubahan semacam ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, ada semacam cara pandang, budaya berpikir yang harus dirombak dalam struktur besar keredaksian, serta pembongkaran sikap dan cara pandang personal di kalangan wartawannya. Dalam sebuah diskusi Lembaga Pers Mahasiswa, pada umumnya pekerja media memiliki kesadaran memadai mengenai masalah-masalah HAM. Namun masih perlu perbaikan yang signifikan dalam kognisi, maupun afeksi. Jurnalis harus memanfaatkan semaksimal mungkin informasi, komunikasi, dan pendidikan untuk memajukan perdamaian, HAM, dan demokrasi.
Tetapi apa keterkaitan antar demokrasi dan perempuan? Sejarah bisa menjadi titik tempuh untuk memaparkan pergerakan posisi perempuan mulai dari pemegang peranan yang kuat dalam komunitas sampai terjadinya subordinnasi terhadap mereka. Sejarah kemudian memang memperlihatkan bahwa sejarah perempuan lebih banyak dilekatkan pada subordinasi. Padahal inti demokrasi adalah kesetaraan hak dan kewjiban, dan keadilan yang didasarkan kesetaraan tadi.
Jadi, sehebat apapun posisi seorang pemimpin media berbicara soal demokrasi, tetapi ia meragukan atau bahkan menisbikan persoalan kesetaraan dalam hubungan perempuan-laki-laki, maka ia bukanlah demokrat sejati. Seorang pemimpin di dalam media yang masih mengartikan feminisme sebagai pembalikan perempuan dan laki-laki atau bahkan menuduh feminisme dan gerakan kesetaraan gender sebagai gerakan untuk menindas laki-laki, maka secara tidak sadar dia telah memposisikan dirinya sebagai penindas.
Mengapa? Karena kesadaran ditindas hanya ada pada golongan penindas. Pada banyak kasus, orang tertindas malah tidak merasa ditindas karena manipulasi berbagai nilai yang dikukuhi dalam kehidupan masyarakat atau malah melakukan adjustment terhadap penindasan itu dan kemudian mereplikasikannya kepada pihak lain yang lemah. Karena itulah kesadaran perempuan tentang masalah penindasan ini harus dibongkar. Hanya dengan itu maka seluruh gerakan kesetaraan bisa mencapai tujuannya. Dalam hal ini media sebagai kekuatan keempat (the fourth estate) berperan sangat besar untuk pergerakan permpuan, namun sebaliknya media bisa digunakan untuk menahan laju pergerakan perempuan, atau bahkan memundurkan kembali. Inilah yang disebut split personaliy dari media: ia bisa menjadi agen pembaharu, tetapi sekaligus menginginkan kemapanan sehingga enggan membongkar situasi status-quo, karena merasa hal-hal itu tidak populer, yang akhirnya mengganggu bisnis media.
Namun bagaimanapun harus diingat, media main steram berurusan dengan pemodal yang lebih mempedulikan kenginan pasar ketimbang perbaikan posisi dan kesejahteraan perempuan dan kelompok masyarakat yang dilemahkan lainnnya. Meski demikian, ketidakpedulian media main stream ini bukan jalan buntu yang tidak bisa ditembus. Selalu ada jalan dengan kecerdasan membungkus isu, sehingga akhirnya secara perlahan tetapi pasti, isu-isu kesetaraan dan keadilan gender menjadi isu yang kian membesar dan penting dan harus diterapkan dalam setiap persoalan.
Oleh: Akhmad Junaedi Azhar
















Urgensi Advokasi Kebijakan terhadap Pengembangan Filantropi untuk Keadilan Sosial dalam Masyarakat Islam Indonesia
Oleh: Rustam Ibrahim
Klarifikasi Istilah: Pengantar

Istilah filantropi (philanthropy) yang ke dalam bahasa Indonesia mulai banyak diterjemahkan sebagai kedermawanan sesungguhnya berasal dari bahasa Yunani: philos (cinta atau kasih) dan anthropos (manusia); yang kira-kira berarti cinta atau belas kasih kepada sesama manusia. Maka filantropi dapat diartikan sebagai upaya menolong sesama, kegiatan berderma, atau kebiasaan beramal dari seseorang yang dengan ikhlas menyisihkan sebagian dari harta atau sumberdaya yang dimilikinya untuk disumbangkan kepada orang lain yang memerlukan. Filantropi dapat diartikan sebagai kebaikan hati yang diwujudkan dalam perbuatan baik; dengan menolong dan memberikan sebagian harta, tenaga maupun fikiran secara sukarela untuk kepentingan orang lain.

Dalam perkembangannya filantropi telah berkembang melampaui batas-batas kebaikan hati para individu tetapi juga memasukkan organisasi-organisasi non-pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang memberikan bantuan-bantuan sosial. Saya fikir mengembangkan sikap kedermawanan, bagaimana pun juga, merupakan ajaran semua agama. Dalam agama Jahudi dikenal konsep Tsedaqah. Dalam Sepuluh Perintah Tuhan yang nomor 2 menyebutkan bahwa cintai tetanggamu seperti mencintai dirimu sendiri. Ajaran Kristen mengajarkan untuk memberikan bantuan dan simpati kepada orang lain dalam kesulitan. Dalam agama Budha ada kisah bahwa kedermawanan merupakan kebajikan terakhir yang perlu disempurnakan sebelum mencapai nirwana. Ajaran Budha menekankan bahwa belas kasih hidup dalam semangat kebersamaan akan menghilangkan ketidak adilan sosial. Ajaran Hindhu Ahimsa menghubungkan antara keadilan dan kesejahteraan. Bahwa amal merupakan jalan untuk menciptakan keamanan masa depan dan bahwa derma menjamin kesejahteraan.

Ajaran Islam menganjurkan umat Islam, khususnya si kaya, untuk perduli kepada orang miskin papa. Karenanya, menyantuni anak yatim, janda miskin, orang yang terbelit hutang dan orang yang kekurangan adalah satu tugas keagamaan yang luhur. Aktivitas berderma inilah yang disebut sebagai filantropi Islam. Di dalam perintah berderma tersebut terkandung ideal kemurahan hati, keadilan sosial, saling berbagi dan saling memperkuat.

Ajaran filantropi Islam atau barangkali lebih tepatnya filantropi menurut ajaran Islam diwujudkan dalam bentuk zakat, infak (termasuk wakaf) dan sadaqoh (ZIS). Zakat sering diartikan sebagai membelanjakan (mengeluarkan) harta yang sifatnya wajib dan salah satu rukun Islam serta berdasarkan perhitungan yang tertentu. Infak acap merujuk kepada pemberian yang bukan zakat, yang kadangkala jumlahnya lebih besar dari zakat. Biasanya dimaksudkan untuk kepentingan fii sabilillah, dalam arti sarana, misalnya, bantuan untuk masjid, madrasah, pondok Pesantren, rumah sakit. Pendek kata, bantuan yang dikeluarkan untuk lembaga keumatan tersebut masuk kategori infak. Sedangkan, sedekah biasanya derma yang kecil-kecil jumlahnya yang diserahkan kepada orang miskin, pengemis, pengamen, dan lain-lain. Berbeda dengan zakat, baik infak maupun sedekah keduanya adalah sunnah (al-Makassary: 2006)

Sebagai negara yang lebih dari delapan puluh persen penduduknya beragama Islam jumlah orang yang memberikan derma cukup besar. Survai yang dilakukan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) tahun 2006 menemukan bahwa sebagian besar (78%) penduduk Indonesia pernah memberikan sumbangan dalam bentuk uang atau barang. Survai lain yang dilakukan pada tahun 2000 dengan responden yang tinggal di daerah perkotaan menunjukkan bahwa 96% responden pernah memberi kepada orang lain, baik kepada individu maupun organisasi (PIRAC: 2002). Akan tetapi sumbangan kepada organisasi masih kecil, walaupun terdapat kecenderungan meningkat. Survai PIRAC 2004 menemukan bahwa responden yang menyumbang berupa ZIS untuk organisasi pada tahun 2001 hanya 4% yang meningkat menjadi 15% pada tahun 2004.

Ini sebaliknya dengan masyarakat di dunia Barat. Misalnya, di Amerika Serikat 89% warga Amerika memberikan derma dalam bentuk uang yang sebagian terbesar disalurkan melalui organisasi nirlaba. Dari sumbangan itu hanya 38% yang ditujukan untuk kegiatan keagamaan. Selebihnya (62%) diberikan kepada berbagai jenis kegiatan seperti pendidikan, kesehatan, pengembangan sumberdaya manusia, lingkungan hidup, dana untuk kepentingan publik dan bahkan untuk pembangunan internasional (Gaudiani: 2003).

Survai rumah tangga yang dilakukan PIRAC pada tahun 2004 tentang zakat mal menunjukkan bahwa secara rata-rata umat Islam di perkotaan mengeluarkan zakat sebesar Rp 416.000. Sementara berdasar hasil penelitian PBB UIN dan Ford Foundation (FF) menemukan bahwa rata-rata sumbangan keluarga Muslim per tahun sebesar Rp 409.267 dalam bentuk tunai dan Rp 148.200 dalam bentuk barang. Atas dasar itu diprediksikan bahwa potensi dana umat untuk zakat mencapai Rp 19.3 trilyun rupiah (yang disumbangkan oleh 34.5 juta keluarga Muslim) yang terdiri dari Rp 14.2 trilyun dalam bentuk barang dan Rp 5.1 trilyun dalam bentuk barang (al-Makassary: 2005).

Keadilan sosial, apapun definisi yang diberikan, adalah merupakan aspirasi dari seluruh masyarakat yang sehat. Bagi Indonesia ia merupakan salah satu falsafah hidup bangsa sebagaimana tercantum dalam Pancasila sebagai ýkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesiaý. Keadilan sosial juga adalah gagasan-gagasan yang sangat tua. Aristoteles mengatakan bahwa keadilan sosial adalah pembagian yang adil di dalam masyarakat yang didasarkan atas ýpembagian kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannyaý. Pandangan liberal dari John Stuart Mills menggunakan prinsip ýthe greatest happiness of the greatest numberý. Tradisi sosialis menekankan pada persamaan, persaudaraan dan kerjasama dalam menghadapi kemelaratan dan kemiskinan material. Menurut faham negara kesejahteraan adalah salah satu tugas negara untuk menciptakan keadilan sosial bagi warganya dan itu mencakup keadilan dalam: hak-hak dan kebebasan, kekuasaan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan (Knight: 2003). John Smith pemimpin Partai Buruh Inggeris yang mendirikan Komisi untuk Keadilan Sosial pada tahun 1992 mengemukakan empat prinsip tentang keadilan sosial: kesetaraan warga negara; kesetaraan untuk memenuhi kebutuhan dasar; akses seluas mungkin terhadap peluang dan kesempatan hidup; dan mengurangi dan menghapuskan ketidak setaraan itu. Sementara John Rawls mengemukakan bahwa terdapat lima kondisi yang memungkinkan terciptanya orde keadilan sosial: kebebasan dasar, kebebasan untuk membangun gerakan dan memilih pekerjaan; akses terhadap kekuasaan; kesempatan untuk memperoleh pendapatan dan kekayaan; harga diri secara sosial.

Munculnya gagasan FuKS muncul dari ketidakpuasan terhadap semakin meningkatnya skala ketidakadilan di masyarakat Barat di tengah meningkatnya konsentrasi kekayaan dan kebebasan bagi segelintir minoritas. Mereka melihat bahwa sebagian besar filantropi tampaknya tidak ditujukan untuk mengurangi kesengsaraan ini. Keadaan ini mendorong pentingnya yayasan dan lembaga-lembaga amal lainnya untuk tidak melakukan bisnis seperti biasa; akan tetapi dengan meningkatkan bantuannya untuk kegiatan-kegiatan hak asasi manusia dan keadilan sosial.

National Committee for Responsive Philanthropy (NCRP) suatu lembaga yang didirikan pada tahun 1976 dan ditujukan untuk membantu meningkatkan komunitas filantropi terhadap nilai-nilai tradisional keadilan sosial masyarakat Amerika serta meningkatkan akuntabilitas dan aksesibilitas organisasi-organissi nirlaba AS, memberikan definisi mengenai filantropi untuk Keadilan Sosial.

Filantropi untuk keadilan sosial adalah praktek pemberian derma kepada organisasi-organisasi nirlaba yang bekerja demi perubahan struktural dan memperbesar peluang bagi mereka yang kurang beruntung secara politik, ekonomi dan sosial (Hunsaker & Hanzl : 2005).

Di dalam definisi ini terkandung dua prinsip pokok. Yaitu, (1) bahwa derma diberikan kepada organisasi (nirlaba); dan (2) yang bekerja untuk perubahan struktural, bukan pelayanan atau karitatif.

Untuk menemukan pengertian keadilan sosial itu ke dalam praktek filantropi sehari-hari Barry Knight melakukan investigasi terhadap visi dari 25 pelaku filantropi dan 18 pengembang masyarakat dari berbagai kawasan dunia. Dalam survai tersebut mereka sepakat bahwa ada lima faktor yang dapat dimasukkan ke dalam kegiatan filantropi untuk mencapai keadilan sosial yang mencakup:
1. Pemenuhan kebutuhan pokok;
2. Redistribusi kekuasaan;
3. Transformasi nilai-nilai untuk mengembangkan perbedaan dan keberagaman (ras, gender, dsb.)
4. Kapasitas komunitas yang kuat (sehingga rakyat mempunyai kekuatan untuk bertindak);
5. Partisipasi publik dalam pembuatan keputusan (Knight: 2003).

Berdasarkan kelima faktor ini Knight merumuskan tindakan-tindakan yang dapat dilakukan:
Untuk mendapatkan keadilan sosial, kita perlu menjamin bahwa kebutuhan pokok rakyat di dunia ini dapat dipenuhi dan bahwa kita mendistribusikan sumberdaya atas dasar pemenuhan kebutuhan pokok tersebut. Bahwa kita juga membutuhkan untuk membangun berbagai komunitas di mana semua orang merasa dirinya sama dan sederajat, sehingga kita semua dapat mengambil bagian dalam pembuatan keputusan publik (Knight: 2003).

Isyu FuKS dengan demikian mencakup akses masyarakat terhadap perlindungan hak asasi manusia yang tidak hanya menyangkut hak-hak sipil dan politik tetapi juga hak-hak sosial, ekonomi dan budaya. Dengan demikian akan mencakup juga hak masyarakat untuk mendapatkan sumberdaya air, udara bersih, pendidikan, penyediaan bantuan hukum, perlindungan anak dan perempuan.

Pengertian yang lebih ekstrim mengenai praktek FuKS dikemukakan oleh Alien Shaw. Menurut shaw semua program yang bersifat pelayanan (services) adalah karitatif. Sedangkan FuKS berkonsentrasi pada isu-isu demokrasi, hak-hak warganegara, keadilan dan kualitas hidup, dan sebagainya. Singkatnya bukan yang merupakan bantuan langsung, melainkan membantu warga untuk membantu diri mereka sendiri (al-Makassary: 2006).

Saya lebih cenderung dengan pendapat Barry Knight daripada Alien Shaw terutama untuk konteks masyarakat Indonesia. Berbicara FuKS dalam konteks Indonesia sekarang, adalah mengatasi kesenjangan dan ketidak-adilan yang sangat luas dalam masyarakat. Bagi saya dalam suatu masyarakat yang lebih dari separuh penduduknya masih hidup dalam kemiskinan (dengan pendapatan kurang dari 2 $ AS per hari) maka hal-hal yang menyangkut kebutuhan dasar merupakan sesuatu yang sangat penting bagi keadilan sosial. Mungkin ketidakadilan sosial buat orang Barat lebih dilihat dalam soal politik, HAM, kesetaraan gender, atau partisipasi politik. Jadi tergantung pada kondisi masyarakatnya. Bagi orang-orang yang sudah terpuaskan kebutuhan pokoknya, mereka mungkin melihat kebutuhan itu sebagai program yang bersifat karitatif.

Yang terpenting adalah bagaimana program itu diberikan kepada mereka dengan pendekatan atau metodologi yang melibatkan mereka secara partisipatif. Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan pokok tidak hanya sekedar memberikan makanan, pakaian, dan lain-lain tetapi bagaimana suatu program filantropi bisa melibatkan mereka secara partisipatif di dalam upaya untuk pemenuhan kebutuhan pokok tersebut.

Saya tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa filantropi untuk keadilan sosial itu selalu identik dengan advokasi. Itu mengesankan bahwa hanya advokasilah yang bisa mengatasi kesenjangan sosial. Bagi saya, apakah programnya itu advokasi atau pembangunan tidak terlalu menjadi soal. Yang penting program tersebut diarahkan untuk mengatasi kesenjangan tadi baik dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik.

Untuk menghapus ketidakadilan maka rentang intervensi dapat dilakukan sesungguhnya sangat luas, mulai dengan penyediaan pelayanan sampai kepada membangun gerakan yang kuat untuk menyerang akar dari masalah sosial. Ini berarti bahwa filantropi untuk keadilan sosial tidak hanya untuk membantu kelompok-kelompok advokasi. Hanya saja bantuan harus diubah dari yang karitatif menjadi yang bersifat investasi. Sebagaimana dikemukakan Gaudiani, sumbangan, amal, derma memang merupakan salah satu bentuk dari filantropi, tetapi barulah tahap yang paling awal. Bentuk akhir dari filantropi adalah sebagai investasi: investasi sosial. Di dalam tulisan tentang delapan tahap dari Tsedaqah disebutkan bahwa tahap pertama adalah memberi sedikit dan tidak teratur. Akan tetapi kedermawanan pada tahap tertinggi bukanlah dengan memberi sebanyak mungkin, sesering mungkin, dengan rendah hati dan seterhormat mungkin; melainkan masuk ke dalam kemitraan dengan mereka yang membutuhkan sehingga mereka menjadi produktif dan akhirnya justeru mandiri (Gaudiani: 2003).

Tantangan mengembangkan FuKS dalam masyarakat Islam
Secara umum, ada beberapa tantangan filantropi Islam untuk keadilan sosial di Indonesia.
Pertama, tantangan utama yang dihadapi dalam mengembangkan filantropi Islam untuk keadilan sosial adalah bahwa tingginya tingkat kedermawanan umat Islam lebih dilandasi oleh motivasi spritual daripada sosial. Umat Islam beramal lebih untuk kepentingan surgawi daripada duniawi. Karena itu banyak bantuan diberikan untuk membangun rumah ibadah (masjid) atau bantuan langsung yang diberikan kepada orang miskin dan peminta-peminta. Dewasa ini umat Islam yang memberikan sumbangan atau derma melalui organisasi-organisasi masih terbatas. Organisasi-organisasi nirlaba khususnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat, penegakan demokrasi dan hak asasi manusia, pemenuhan kebutuhan, keadilan dan kesejahteraan yang merupakan praktek FuKS tidak memperoleh dananya dari kedermawanan umat Islam melainkan bersumber dari lembaga-lembaga penyandang dana asing.

Kedua, di pihak lain organisasi-organisasi/institusi-institusi Islam seperti BAZIS, LAZIS dan lain-lain tidak mempraktekkan FuKS tetapi peruntukannya lebih disesuaikan dengan hukum Islam sebagaimana penggunaan zakat misalnya. Karena itu distribusi ZIS masih berorientasi pada aspek karitas. Dengan kata lain, distribusi untuk tujuan keadilan sosial masih sangat lemah.

Ketiga, akuntabilitas dan transparansi dana lembaga-lembaga pengelola dana ZIS masih rendah. Penggunaan dana ZIS tidak cukup hanya dengan memberikan laporan pemasukan dan pengeluaran tetapi juga harus ada mekanisme untuk memverifikasinya. Apakah pemasukan dan pengeluaran memang sesuai dengan kebenarannya. Untuk program apa saja yang dilakukan? Kepada siapa saja dana tersebut didistribusikan? Apakah dilakukan audit yang dilakukan akuntan publik? Apakah biaya administrasi dan biaya yang dikeluarkan untuk pengelola dan petugas tidak melebihi batas-batas kewajaran? Siapa saja nama penyumbang dan berapa sumbangan yang diberikan. Dengan perkataan lain pengelolaan ZIS banyak yang belum memenuhi apa yang disebut dengan Standards of Good Governance for Nonprofit Organizations.

Keempat, karena motivasi dan orientasi spritualnya yang sangat kental umat tidak terlalu mempersoalkan atau bersikap permisif mengenai bagaimana dana itu akan dipergunakan. Mereka percaya bahwa tidak mungkin dana untuk kepentingan akhirat itu akan diselewengkan. Juga sifat kerahasiaan penyumbang perlu dipertahankan. Misalnya kalau tangan kanan memberi maka tangan kiri tidak boleh tahu, sebutan Hamba Allah untuk penyumbang, tidak memerlukan adanya tanda terima (sistem kotak amal, pemberian di jalan, dan sebagainya). Hal ini tidak mendorong akuntabilitas, transparansi maupun efektivitas sumbangan yang diberikan.

Advokasi kebijakan dan kampanye publik yang perlu dilakukan
Berdasarkan tantangan-tantangan yang dikemukan di atas maka bagi para aktivis yang bergerak dalam pengembangan filantropi Islam untuk keadilan perlu mengadvokasikan beberapa hal sebagaimana dikemukakan di bawah ini:

1. Mendorong umat Islam (terutama yang berpunya) untuk mau menyumbang melalui organisasi-organisi nirlaba (yayasan-yayasan dan LSM). Organisasi nirlaba/LSM yang sukses dalam menghimpun dana ZIS umat Islam adalah (YDD) yang dapat dijadikan sebagai contoh praktek yang baik (best practice) Sekitar 99% sumber pendanaan YDD berasal dari sumbangan masyarakat. Dan YDD mempunyai tiga kategori program: pengembangan ekonomi rakyat, pengembangan sumberdaya manusia dan pelayanan sosial.
Aktivis-aktivis filantropi Islam perlu terus melakukan kampanye publik untuk mengubah orientasi dan kecenderungan menyumbang umat Islam masyarakat yang hanya memberi sumbangan kepada individu atau masjid kepada organisasi dengan program yang lebih umum. Pengalaman negara lain juga menunjukkan bahwa pergeseran itu terjadi melalui proses. Pada mulanya orang Amerika, Eropa atau Filipina berderma ke gereja, tetapi kemudian bergeser kepada program yang sifatnya umum.
Hal ini tergantung dari kemampuan LSM dalam berkomunikasi dengan menjelaskan program-programnya kepada masyarakat. kalangan LSM harus memperkenalkan program-program dan dampaknya atau hasil-hasil yang telah mereka capai kepada masyarakat melalui media komunikasi massa, seperti surat kabar, radio, TV, dan sebagainya.
Sukses YDD bermula karena afiliasinya dengan Harian Republika. YDD bisa mengkomunikasikan program-programnya melalui melalui media itu sehingga secara tidak langsung merubah pola menyumbang masyarakat. Ada tiga kategori program yang dijalankan YDD yaitu pengembangan ekonomi, pengembangan sumberdaya manusia dan pelayanan sosial Saya fikir masyarakat Indonesia membutuhkan banyak organisasi seperti YDD.

2. Untuk mendorong masyarakat menyumbang diperlukan adanya insentif perpajakan. Misalnya, kalau individu atau perusahaan menyumbang melalui badan-badan amil zakat seperti yang tercantum dalam UU Nomor 38/1999 tentang dana yang disumbangkan diperhitungkan dengan pajak penghasilan yang diberikan. Badan-badan yang berhak memperoleh pengurangan pajak itu seharusnya mencakup semua organisasi nirlaba yang bergerak untuk kepentingan umum. Karena itu suatu advokasi tentang perlunya insentif perpajakan bagi kegiatan filantropi Islam perlu dikumandangkan.

3. Badan-badan amil zakat, infaq dan sodaqoh (ZIS) yang mengelola dan mendistribusikan sumbangan atau derma umat Islam perlu lebih didorong membangun organisasi atau program sesuai dengan filantropi untuk keadilan sosial atau menyalurkan sumbangan yang diberikan kepada organisasi-organisasi sosial dan kegamaan yang mempunyai program filantropi untuk keadilan sosial.

4. Advokasi perlu dilakukan untuk meningkatkan akuntabilitas, tranparansi dan efektivitas badan atau lembaga yang mengelola ZIS sehingga memenuhi standar-standar good governance.

***
*Makalah ini disampaikan dalam Seminar Advokasi Kebijakan Filantropi Islam untuk Keadilan Sosial, diselenggarakan oleh Pusat Bahasa dan Budaya UIN dan Ford Foundation, Jakarta, 26 Juli 2006.

* penulis adalah Wakil Ketua Badan Pembina YAPPIKA, suatu aliansi masyarakat sipil untuk demokasi; Anggota Pengurus Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES); serta Ketua Kelompok Kerja untuk Akuntabilitas Organisasi Masyarakat Sipil.























Tidak ada komentar:

Posting Komentar

dipun sumanggaaken dumateng rencang - rencang ingkang betahaken

Selamat Datang Di GiliKidul .............. Test Online Sudah Menanti Anda ....................................!!!!!!!!!!!!! Selamat Datang Di GiliKidul .............. Test Online Sudah Menanti Anda ....................................!!!!!!!!!!!!! Selamat Datang Di GiliKidul .............. Test Online Sudah Menanti Anda ....................................!!!!!!!!!!!!! Selamat Datang Di GiliKidul .............. Test Online Sudah Menanti Anda ....................................!!!!!!!!!!!!!